Partai Golongan Karya (Partai Golkar),
sebelumnya bernama Golongan Karya
(Golkar)
dan
Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai GOLKAR bermula dengan
berdirinya Sekber GOLKAR pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat
untuk menandingi pengaruh Partai
Komunis Indonesia
dalam kehidupan politik. Dalam perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud
menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.
Dalam
Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah
Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada
Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto
membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan GOLKAR, seperti peraturan
monoloyalitas PNS,
dan sebagainya.
Setelah
pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud
menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada
bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa
pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun
menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
baru
terjadi di Indonesia, seorang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan
sesuatu yang tidak cerdas dan mengadu domba kader partai politik dalam hal ini
Partai Golkar. Bagaimana tidak, Sidang Mahkamah Partai Golkar jelas-jelas tidak
memenangkan salah satu pihak dengan posisi 2-2. Hanya Andi Matalata dan Jasri
Marin (?) mengatakan Munas Ancol sah tetapi dengan catatan minim legitimasi
sedangkan Muladi dan Natabaya mengatakan serahkan ke pengadilan. Tidak ada
keputusan yang memenangkan salah satu pihak. Pendapat Andi Matalata dan Jasri
Marin hanyalah sebuah beda pendapat dengan Muladi dan Natabaya (Disenting
Opinion) dalam Sidang Mahkama Partai.
Agung
Laksono yang sudah mabuk dan kebelet mau menjadi Ketua Umum Partai Golkar
dengan jalan ilegal juga salah membaca keputusan Mahkamah Partai dan merasa
dirinya menang. Lalu dengan percara diri mengajukan permohonan pengesahan
kepengurusan ke Menkumham yang disambut dengan baik sekali bahkan minta Agung
Laksono melengkapi kepengurusan sesuai pendapat Andi Matalata dan Jasri Marin.
Hubungannya apa antara Menkumham dan Agung Laksono?
Yang
diperdebatkan selama ini adalah soal legitimasi dan demokratis. Keputusan
aklamasi menjadikan ARB Ketua Umum Partai Golkar di Munas Bali dianggap tidak
demokratis. Hanya karena di Munas Ancol yang abal-abal ada pemungutan suara
untuk memilih Ketua Umum yang bisa saja direkayasa, dianggap demokratis.
Padahal demokrasi kita mengutamakan musyawarah mufakat. Kalau tidak mencapai
musyawarah mufakat barulah dilakukan pemungutan suara.
Selanjutnya
soa legitimasi dari dua Munas. Munas Bali jelas dihadiri oleh DPP, Organisasi
yang mendirikan dan didirikan dan organisasi sayap yang sah. Pengurus Daerah
yang hadir adalah Ketua DPD PG dan Sekretaris DPD PG Provinsi hasil Musda di
masing-masing daerah dengan mandat yang sah dan asli menggunakan Kop Surat dan
Cap yang asli sesuai AD/ART, Peraturan Organisasi, Juklak dan Juknis yang
diatur oleh Partai Golkar hasil Munas Riau. Demikian pun semua Ketua DPD dan
Sekretaris DPD PG Kabupaten/Kota yang hadir adalah yang semuanya legal dan
memiliki legitimasi yang jelas. Tinta Menkumham yang mengakui Pengurus Golkar
yang sah adalah Hasil Munas Riau, belum lagi kering. Atau Menkumham lupa dengan
keputusannya sendiri?
Mari
kita lihat soal legitimasi. Sebagai mantan Sekretari PG Provinsi NTT dan
sekarang masih Pengurus DPD PG Provinsi NTT saya paham betul dengan
ketentuan-ketentuan peserta Munas Golkar. Dan itulah yang dilakukan dengan
benar oleh ARB dan Idrus Marham di Munas Bali. Saya yakin yang dari NTT yang hadir
itu Pengurus yang sah baik Provinsi maupun Kabupaten. Dan utusan DPD Provinsi
NTT yang hadir di Munas Ancol adalah Wakil Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan
dan Kaderisasi, tanpa mandat. Kalau sampai membawa mandat maka pasti tidak sah
atau hasil rekayasa. Ini pasti Karena Ketua DPD PG NTT Ibrahim Agustinus Medah
dan Sekretaris DPD PG NTT Anton Darus, hadir di Bali. Dengan satu contoh ini
saja, jelaslah Munas Ancol ilegal.
Oleh
karena hal-hal tersebut, saya himbau Kader Partai Golkar yang militan, yang
selama ini berjuang tanpa pamrih kita bangun dengan Partai Golkar dengan
paradigma baru, tetapi tetap ingin mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD 1945
harus pandai membaca tanda-tanda zaman.
Gerakan
Agung Laksono dan kawan-kawan hanyalah upaya untuk menyeret Partai Golkar terus
berada di Pemerintahan. Dan dengan demikian, maka Partai Golkar akan terus
terstigma dan dibebani sejarah masa lalu sebagai pendukung utama Orde Baru yang
sarat KKN. Begitu menjadi Partai Politik dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung,
Partai Golkar ingin menegakkan demokrasi di Indonesia secara baik yang didukung
oleh Partai Politik yang mandiri. Contoh nyata adalah begitu terpilih menjadi
Ketua Umum Partai Golkar dalam Munaslub Golkar yang melahirkan Partai Golkar
dengan paradigma barunya, Akbar Tanjung berhenti dari Menteri Kabinet Habibie.
Akbar
Tanjung bersama seluruh Kader PG di seluruh Indonesia berjuang sungguh-sungguh
untuk menjadikan Partai Golkar sebagai partai yang demokratis. Pemilu
legislatif tahun 1999, Partai Golkar menjadi pemenang kedua dan sangat siap
menjadi peserta Pemilu Legislatif tahun 2004. Untuk Calon Presiden tahun 2004
yang akan melalui pemilihan langsung oleh rakyat, Partai Golkar
menyelenggarakan sistem konvensi. Dan hasil konvensi, Wiranto menjadi calon Presiden
dari Partai Golkar berpasangan dengan Solahudin Wahid. Kerja keras Golkar dan
gaung konvensi yang demokratis menyebabkan Partai Golkar memenangkan Pemili
Legislatif tetapi kalah di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dan karena
kalah di Pilpres tahun 2004, Partai Golkar sudah siap-siap berada di luar
pemerintah. Bukan sebagai oposisi yang tidak dikenal dalam sistim politik di
NKRI, tetapi akan melakuakn koreksi secara kritis dan obyektif dimana kebijakan
pemerintah yang baik didukung, yang merugikan rakyat dikritisi.
Niat
ini tidak kesampaian. Dalam Munas di Bali tahun 2004, JK yang sudah menjadi
Wakil Presiden dari Presiden Susilo Bambang Yudono memerlukan dukungan Partai
Golkar. Bersama teman-temannya seperti Agung Laksono, Surya Paloh dan ARB mereka
mengalahkan Akbar Tanjung. JK menjadi Ketua Partai Golkar yang minim prestasi.
Kalah di Pemilu Legislatif, kalah di Pilpres tatkala JK berpasangan dengan
Wiranto yang sudah menjadi Ketua Partai Hanura. Ketika Munas Riau, ARB
terpilih, tetapi masih menjadi partai pendukung pemerintah. Yang menikmati
adalah Agung Laksono menjadi Menteri dan Priyo Budi Santoso menjadi Wakil Ketua
DPR RI.
Munas
PG Bali 2014, ARB terpilih lagi meskipun pada Pemilu Legislatif hanya menduduki
tempat kedua sehingga ARB tak bisa menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden.
Karena mendukung Prabowo-Hata dan kalah maka ARB memilih di luar pemerintah dan
bersama partai pendukung Prabowo-Hata membentuk Koalisi Merah Putih yang akan
menjadi kelompok penyeimbang di luar pemerintah. Ada yang rupanya menginginkan
Partai Golkar tetap mendukung pemerintah, karena tidak percaya diri dengan
dukungan partai pendukung Pemerintah yang ada. Keinginan inilah yan rupanya
dimainkan lewat Agung Laksono membuat kekisruhan, lalu membuat Munas tandingan
sehingga mengesankan Partai Golkar pecah dan ada dualisme. Dengan alasan itu
Pemerintah melalui Menkumham memainkan perannya sedemikian rupa untuk mensahkan
kepengurusan Agung Laksono, hasil Munas Ancol yang minim legitimasi. OMG
Oleh
ini semua, Kader Patai Golkar kembali harus pandai membaca tanda-tanda zaman.
Untuk menghilangkan stigma masa lalu dan beban sejarah Golkar sebagai pendukung
Orde Baru, sebaiknya Partai Golkar berada di luar Pemerintah. Mari kita bekerja
dan berjuang untuk Pemilu tahun 2019. Bila oleh kerja keras kita dan kehendak
Tuhan serta kepercayaan rakyat maka dengan berbagai pengalaman pahit dan manis
yang kita alami, kita siap mebangun Indonesia yang lebih baik karena Partai
Golkar sudah memiliki konsep pembangunan Indonesia sampai tahum 2045 ketika
Indonesia berusia 100 tahun. Semoga.
Aroma
perdamaian di tubuh Partai Golkar mulai terendus dengan rencana kedua kubu yang
akan mengambil langkah islah terbatas. Meski demikian, Sekretaris Jendral
Golkar hasil Munas Bali, Idrus Marham menginginkan agar islah terbatas digelar
secara komprehensif.
Diketahui
saat ini kubu hasil Munas Bali dan Munas Ancol sedang berupaya agar partai
beringin bisa mengikutsertakan kedrnya dalam pencalonan pemilihan kepada daerah
serentak. Sedari itu, kedua kubu sedang getol menyusun konsep islah terbatas.
Sebagai penengah, baik Aburizal Bakrie ataupun Agung Laksono sepakat memilih
Jusuf Kalla sebagai fasilitator perdamaian keduanya.
Idrus
pun menekankan agar konsep dasar pada tahap penjaringan awal haruslah mengacu
pada Undang-Undang Partai Politik yang juga disesuaikan dengan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Sebelumnya kedua belah pihak, seperti
yang disampaikan Idrus, telah menyepakati empat poin usulan Jusuf Kalla dan
telah pula menandatanganinya. Empat poin usulan JK tersebut akan dijadikan
prinsip dasar dari islah terbatas tersebut.
No comments:
Post a Comment