12/08/2015

PT BUKIT ASAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN



PTBA ingin terus tumbuh dan berkembang bersama masyarakat sekitar, membangun hubungan yang harmonis di tengah-tengah lingkungan yang lestari dan dapat memberi manfaat seluas-luasnya untuk memenuhi harapan para pemangku kepentingan.
          Sebagai perusahaan tambang dengan area kelolaan yang luas dan kini mulai berkembang menjadi perusahaan pembangkit energi listrik, Perseroan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dengan terus mendorong pertumbuhan ekonomi dan membangun kemandirian masyarakat serta berupaya memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
        Perseroan ingin terus tumbuh dan berkembang bersama masyarakat sekitar, membangun hubungan yang harmonis di tengah-tengah lingkungan yang lestari. Dengan demikian, keberadaan Perseroan dapat memberi manfaat seluas-luasnya dan memenuhi harapan para pemangku kepentingan, yakni pelanggan, mitra kerja, pemerintah, pemegang saham, pegawai dan masyarakat sekitar.

Visi CSR
Visi CSR Perseroan adalah “Mewujudkan masyarakat sejahtera, mandiri dan berwawasan lingkungan”.

Sedangkan Misi CSR adalah:

  • Mendukung program pemerintah untuk meningkatkan taraf ekonomi, sosial, pendidikan masyarakat serta pelestarian lingkungan.
  • Memberdayakan potensi lokal dan memperluas pasar untuk perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar perusahaan.
  • Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung rencana jangka panjang perusahaan dan pengembangan lokasi pasca tambang.

            Perseroan telah mengadopsi ISO 26000:2010: Guidance on Social Responsibility dan Global Reporting Initiative (GRI) sebagai panduan dalam pelaksanaan program CSR berstandar internasional. Program CSR Perseroan terintegrasi dalam “Pedoman Umum CSR PTBA” dengan lingkup program terdiri dari PKBL, Program Bina Komunitas, dan Program Bina Wilayah, dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
  • Ekonomi,
  • Lingkungan,
  • Sosial (hak asasi manusia, tenaga kerja, tanggung jawab produk, dan kemasyarakatan).
      Fokus kegiatan tersebut dijabarkan dalam berbagai program/kegiatan yang menyentuh aspek-aspek pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat lokal, kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, pelaksanaan non diskriminasi dan penghargaan hak azasi manusia, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja serta upaya peningkatan kesejahteraan para karyawan, jaminan keamanan penggunaan produk dan kepuasaan pelanggan serta menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat.
       Melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) nserta Bina Wilayah, Perseroan mengadakan kegiatan yang bertujuan memberdayakan potensi sosial ekonomi dan penciptaan kualitas hidup yang lebih baik untuk masyarakat dan lingkungan sekitar. Pelaksanaan PKBL dan program Bina Wilayah berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Undang-Undang Perseroan Terbatas.

PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN
           Sasaran yang dituju dari pelaksanaan Program Kemitraan PTBA adalah peningkatan kemampuan usaha kecil dan koperasi di sekitar wilayah operasi Perseroan agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba Perseroan. Sedangkan sasaran dari kegiatan Bina Lingkungan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan tumbuh berkembangnya kesadaran akan perlunya pendidikan, interaksi sosial dan keselarasan dengan kelestarian lingkungan.
           Melalui Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan tersebut, Perseroan meyakini akan terjadi pertumbuhan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar Perusahaan menjadi lebih berdaya dan mandiri serta terpeliharanya hubungan yang harmonis dan berkesinambungan antara perusahaan dengan masyarakat.

PROGRAM KEMITRAAN
       Program Kemitraan PTBA disalurkan kepada mitra binaan yang bidang usahanya mencakup seluruh sektor ekonomi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Perseroan mendorong tumbuhnya kewirausahaan masyarakat dengan membantu usaha kecil sejak awal, memberikan pendampingan, pelatihan dan bantuan pemasaran, sehingga akhirnya mampu berkembang menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Akumulasi penyaluran dana Program Kemitraan hingga tahun 2013 telah mencapai Rp452,93 miliar yang disalurkan kepada 8.076 usaha kecil dan koperasi yang tersebar di 14 provinsi.
         Sebagian dari mitra binaan tersebut kini telah menjadi pengusaha skala menengah yang mandiri, bankable, dan telah mengembalikan seluruh dana pinjaman kemitraan yang pernah diterima. Sebagian lagi hingga saat ini masih menjadi mitra binaan dengan dana kelolaan yang semakin meningkat dan sebagian kecil yang masih belum berkembang dibantu dengan terus diberikan pendampingan yang intensif.
         Pada tahun 2013, Perseroan menyalurkan dana Program Kemitraan melalui penyaluran langsung kepada para mitra binaan dan kerja sama penyaluran dengan sesama BUMN Pembina serta melalui sinergi dengan BUMN lain dalam rangka pelaksanaan program GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi).
           Total dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun 2013 adalah sebesar Rp41,7 miliar. Dari dana tersebut, sebesar Rp1,97 miliar disalurkan sebagai pinjaman lunak kepada 96 unit usaha di wilayah Sumatera Selatan.
          Dana Program Kemitraan juga disalurkan melalui BUMN Penyalur untuk mendukung program ketahanan pangan GP3K serta program Sinergi BUMN yang jumlahnya sebesar Rp36,4 miliar. BUMN Penyalur yang bekerja sama pada tahun 2013 adalah PT Pertani (Persero) dan PT Sang Hyang Seri (Persero) yang masing-masing menyalurkan dana sebesar Rp11,7 miliar dan Rp24,7 miliar.
         Selain menyalurkan dana kemitraan, Perseroan melakukan pembinaan dalam bentuk pelatihan kewirausahaan kepada 80 mitra binaan dan bantuan promosi produk mitra binaan melalui kegiatan pameran sebanyak 8 kali di beberapa kota yaitu di Lampung, Palembang, Muara Enim, Pagar Alam, Empat Lawang dan Lahat. Biaya yang direalisasikan untuk kegiatan pembinaan tersebut sebesar Rp439,6 juta.

PROGRAM BINA LINGKUNGAN
              Program Bina Lingkungan terutama difokuskan pada peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat yang berada di Ring 1 yang tersebar di 5 wilayah kerja perusahaan yaitu Unit Pertambangan Tanjung Enim (UPTE), Unit Pertambangan Ombilin (UPO), Unit Pelabuhan Tarahan (Peltar), Unit Dermaga Kertapati (Derti) dan Proyek Penambangan Peranap.
                Program-program Bina Lingkungan dirancang berbasis kebutuhan nyata masyarakat. Untuk menjaring aspirasi masyarakat, Perseroan melakukan pemetaan kebutuhan masyarakat melalui pendekatan kepada kelompok-kelompok/lembaga sosial, tokoh masyarakat, pemuka agama hingga kelompok marjinal kelompok berpenghasilan rendah. Program Bina Lingkungan mencakup bidang pendidikan, pengembangan prasarana dan sarana umum, perbaikan sarana ibadah, peningkatan kesehatan, pelestarian alam, bantuan bencana dan program bantuan lainnya.
            Pada tahun 2013, program Bina Lingkungan difokuskan pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lingkungan melalui program-program unggulan.
          Total penggunaan dana Program Bina Lingkungan tahun 2013 berjumlah Rp38,167 miliar, yang dananya bersumber dari sisa dana tahun lalu, anggaran/biaya perusahaan dan pendapatan jasa giro. Dari dana tersebut dana Bina Lingkungan yang disalurkan sebesar Rp37,75 miliar dan untuk biaya operasional penyaluran sebesar Rp0,423 miliar.
         Dalam penyaluran dana Bina Lingkungan, Perseroan melakukan pendekatan baru, yakni sedapat mungkin memiliki dampak sinergis dengan penyaluran dana Program Kemitraan (PK) dan mempunyai benefit yang mendukung kegiatan operasional Perseroan. Oleh karenanya, dari besaran dana yang didistribusikan, terlihat bahwa penyaluran dana Bina Lingkungan diprioritaskan pada tiga bidang, yakni pendidikan, sarana/prasarana dan kesehatan masyarakat.

PROGRAM BINA WILAYAH
          Di samping pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang mengacu kepada ketentuan Kementerian BUMN, Perseroan menjalankan Program Bina Wilayah sesuai amanat pasal 74 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Program ini bertujuan untuk memberdayakan potensi ekonomi masyarakat sekaligus mewujudkan komitmen Perseroan untuk bersama-sama menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Pada Program Bina Wilayah, Perseroan meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan fisik sarana maupun prasarana secara langsung maupun tidak langsung, selain meningkatkan perannya dalam kegiatan kemasyarakatan.
         Pada tahun 2013, pelaksanaan Program Bina Wilayah Perseroan banyak menyentuh kepentingan masyarakat, baik dalam rangka mendukung peningkatan kualitas pendidikan, prestasi keolahragaan maupun partisipasi langsung pada pembangunan daerah sekitar aktivitas operasional yang disalurkan melalui Pemerintah Daerah.
            Partisipasi pembangunan tersebut disalurkan dalam bentuk Dana Peran Serta Pembangunan Daerah kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Lampung serta Pemerintah Kabupten Muara Enim dan Lahat dengan besaran yang ditetapkan dengan perhitungan tertentu.
Kegiatan Bina Wilayah sepanjang tahun 2013 diantaranya:
  • Pembangunan kolam renang Bukit Asam Tirta Enim.
  • Pengelolaan lembaga pendidikan TK, SMA dan SMK.
  • Pembagian sembako bagi masyarakat miskin.
  • Pembinaan prestasi olahraga daerah.
  • Bantuan kegiatan peringatan HUT Kemerdekaan RI.
  • Bantuan kegiatan seni budaya daerah.
        Secara keseluruhan, total dana yang disalurkan Perseroan untuk kegiatan Bina Wilayah sepanjang tahun 2013 sebesar Rp75,80 miliar, sedikit mengalami penurunan dari penyaluran yang dicapai pada tahun 2012 sebesar Rp83,25 miliar.

sumber : http://ptba.co.id/id/csr

Penganmen, pengemis, dan pengangguran

             Pengamen perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan. 

Faktor-faktor yang membuat seseorang mengamen diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
                    Anak pengamen harus mau melakukannya demi tuntutan ekonomi, dimana orang tua tidak mampu membiayai  kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolah. Untuk itu demi memenuhi kebutuhan tersebut maka seorang anak harus melakukannya.  Bahkan kadangkala orang tua menyuruh anaknya mengamen untuk menambahi kebutuhan hidup atau orang tua yang malas bekerja hanya mengandalkan hasil pengamen anaknya,
2. Kurang Kasih Sayang
                  Anak yang kurang kasih sayang atau tidak menerima kasih sayang  dari orang tua. Artinya hanya karena kesibukan orang tua sibuk untuk mencari harta atau kesenangan sehingga orang tua tidak memiliki  waktu untuk mencurahkan perhatian, bertanya tentang apa masalah anak, bertukar pikiran, dan berbagi rasa dengan anak. Dengan tidak menerima kasih sayang dari orang tua maka anak pun mencari kesenangan dengan  lain untuk  menghibur dirinya walaupun dengan cara bagaimanapun. Cara mengamen adalah salah satu penghiburan diri bagi anak karena dengan bernyanyi sebagai pengamen dapat menghibur hati, menungkapkan isi hati, dan menghabiskan waktu,
3. Rasa ikut-ikutan
               Anak dipengaruhi lingkungan atau teman sebaya untuk mencari hiburan, menghindari pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau merasa hebat akan dirinya. Padahal jika ditesuri, sebenarnya niat seorang anak, segi ekonomi, tidak membuat anak menjadi seorang pengamen, tetapi hanya karena ikut-ikutan atau dipengaruhi  maka seorang anak pun melakukannya. Dengan melihat situasi ini meskipun anak pengamen harus mengalami panas terik, hujan, caci maki, pukulan, tetap memiliki jumlah yang banyak

             Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Meskipun menjadi mengemis adalah halal, tidak semua orang boleh menjadi pengemis. Orang yang boleh menjadi pengemis adalah orang yang sangat miskin sehingga ia terpaksa mengemis untuk bertahan hidup.  
Ada dua kategori dari pengemis seperti :
1. Pengemis yang cacat (difabel), dan tidak berkemampuan produktif secara ekonomi, ketidakmampuan mungkin pantas bagi mereka untuk menjadi alasan sebagai latar belakang mereka untuk memilih jalan menjadi pengemis dan mencari tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka
2. Pengemis yang tidak cacat (non difabel), dan berkemampuan produktif        secara ekonomi, menjadikan mengemis sebagai sebuah profesi atau pekerjaan tetap, mungkin alasan yang tepat bagi mereka adalah kemalasan yang berkepanjangan.
Faktor-faktor seseorang memilih untuk menjadi pengemis :
Pertama, mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
Kedua, mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
Ketiga, mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
Keempat, mengemis karena miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
Kelima, mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis (“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Pengangguran terjadi di sebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja.Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya pasar kerja bagi para pencari kerja.
           Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain : perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif ; peraturan yang menghambat inventasi ; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur  terbuka , sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi .Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar  (5.78 juta) adalah usia muda (15 – 24 tahun).Selain itu terdapat sebanyak 2.7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless).Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
           Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28.87 juta orang.Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.Dengan demikian masalah pengagguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta yang harus segera di tuntaskan.
           Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya di pengaruhi oleh besarnya angkatan kerja.Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang.Mereka ini di dominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15 – 24 tahun) sebanyak 20,7 juta.Pada sisi lain 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
           Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja.Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar  91,6 juta orang.Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada di sektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah.Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
           Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah.Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yng tersedia bagi golongan berpendidikan rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak.Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.
sumber : 
http://ajengnissaa.blogspot.co.id/2013/04/fenomena-sosial-pengamen-jalanan.html
http://rizkyameliah.blogspot.co.id/2012/11/artikel-pengemis-di-jadikan-mata.html 
https://ab3duh.wordpress.com/2013/01/12/artikel-tentang-pengangguran/  

12/07/2015

pengangguran

A.    Keadaan penganggur dan setengah pengangguran
           Pengangguran terjadi di sebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja.Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya pasar kerja bagi para pencari kerja.
           Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain : perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif ; peraturan yang menghambat inventasi ; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur  terbuka , sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi .Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar  (5.78 juta) adalah usia muda (15 – 24 tahun).Selain itu terdapat sebanyak 2.7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless).Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
           Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28.87 juta orang.Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.Dengan demikian masalah pengagguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta yang harus segera di tuntaskan.
  1. B.     Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
           Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya di pengaruhi oleh besarnya angkatan kerja.Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang.Mereka ini di dominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15 – 24 tahun) sebanyak 20,7 juta.Pada sisi lain 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
           Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja.Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar  91,6 juta orang.Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada di sektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah.Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
           Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah.Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yng tersedia bagi golongan berpendidikan rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak.Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.

SASARAN

Sasaran yang di harapkan, di rumuskan sebagai berikut :
  1. Menurunnya jumlah penganggur tebuka dari 0,96 persen menjadi 5,5 persen pada tahun 2009.
  2. Menurunnya jumlah setengah penganggur dari 28,65 persen menjadi 20 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
  3. Meningkatnya jumlah tenaga kerja formal dari 36,71 persen menjadi 60 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
  4. Menurunnya jumlah angkatan kerja usia sekolah dari 20,54 persen menjadi 15 persen pada tahun 2009.
      Tingkatan perluasan lapangan kerja dari 91,65 juta orang menjadi 108,97 juta orang.Terbangunnya jejaring antara pusat dengan seluruh kabupaten/kota.Untuk mencapai hal tersebut disusun strategi, kebijakan dan program – program yang perlu terus dibahas untuk menjadi kesepakatan semua pihak meliputi Pengendalian Jumlah Angkatan Kerja;Peningkatan Kualitas Angkatan Kerja;PeningkatanEfektivitas Informasi Pasar Kerja dan Bursa Kerja;Pembinaan Hubungan Industrial.
  1. C.    Pengangguran tenaga Kerja Terdidik
             Selain masalah upah, pesoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menyangkut tingkat pengangguran.Ini disebabkan pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar di banding pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat di ciptakan setiap tahun.Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin membengkak tajam.Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen.Angka ini sebenarnya masih di sekitar  tingkat pengangguran natural (Natural Rate Of Unemployment), suatu tingkat secara alamiah mustahil dihindarkan.Ini mencakup pengangguran yng muncul karena peralihan antar kerja oleh tenaga kerja.Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta orang pengangguran.
           Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat pengangguran di beberapa Negara industri maju di Eropa di tahun 90-an yang bahkan mencapai dua digit.Namun tingkat pengangguran 5,7 persen tersebut sebenarnya adalah angka pengangguran terbuka (Open Unemployment), yakni penduduk angkatan kerja yang benar-benar menganggur.Diluar pengertian tersebut, terdapat sejumlah besar penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam kualifikasi pengangguran terselubung (Disquised Unemployment), yakni tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh pekerjaaan yang sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan tenaga kerja.Konsep lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja yang jumlah jam kerjanya tidak optimal karena ketiadaan kesempatan untuk bekerja.
               Bedasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997,sekitar 45 persen tenaga kerja bekerja di bawah 35 jam per minggu atau setara dengan 25 persen pengangguran penuh.Jika di tambah angka pengangguran terbuka 2,67 persen dan pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan,total pengangguran nyata bias mencapai 35-40 persen.Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan dalam pembangunan nasional.Di samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan adalah pengangguran tenaga terdidik yaitu, angkatan kerja berpendidikan menengah ke atas dan tidak bekerja.Fenomena ini patut di antisipasi sebab cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan strategi serta kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.
Pola pengangguran
               Dari tabel di bawah mengungkapkan beberapa hal menarik.Pertama, pada tahun 1998 hampir separuh (49 persen) penganggur  ternyata berpendidikan menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan). Kedua, periode tahun 1982-1998, terjadi peningkatan pengangguran berpendidikan menengah ke atas (SMTA,Akademi, dan Sarjana) secara signifikan dari 26 persen menjadi 57 persen, atau meningkat hamper 12 persen.Ketiga, laju peningkatan pengangguran di sekolah Menengah              
            Kejuruan lebih rendah daripada Sekolh Menengah Umum, baik pada menrgah pertama maupun pada menengah atas.Keempat, persentase peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan sarjana adalah paling tinggi,yang menjolak dari 0,57 persen pada 1982  menjadi 5,02 persen pada tahun 1998.
Beberapa sebab :
  1. Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal. Pertama,pembangunan ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih mampu membiayai pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu kualitas tenaga kerja.Kedua, berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatanpada kualitas pendidikan formal angkatan kerja.Akan tetapi, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja masih di dominasi sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan.Ini enimbulkan gejala supply induce di mana tenagaa kerja terdidikyang jumlahnya cukup besar member tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relative kecil, sehingga terjadi pendayagunaaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal.
  2. Secara makro ini juga di sebabkan transformasi ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tersier (industry dan jasa) tidak di ikuti transformasi penyerapan tenaga kerja.Periode tahun 1980-1998, penyerapan tenaga kerja sektor primerbturun 9 persen menjadi  47 persen, sementara sektor sekunder dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen.Di lain pihak konstribusi sektor primer terhadap PDB turun sebesar 9 persen menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14 persen menjadi 27 persen.
            Tampaknya gejala tersebut di akibatkan pola perkembangan industry saat ini yang kurang berbasispada permasalahan nasional yang sifatnya seolah labor surplus padahal karena permintaanyang kecil.Dengan demikian, di samping membangun industry skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi , perhatian juga sudah seharusnya di berikan pada pengembangan industry yang lebih berorientasi pada penyerapan tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tatapi juga tumbuh dengan sangat cepat.
          Perlu juga penanganan serius terhadap tigginya persentase lulusan SMTA Umum yng menganggur (lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan).Hal ini karena pada dasarnya SMTA Umum di persiapkan untuk memasuki perguruan tinggi, padahal untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat terbatas, mahalnya biaya juga mejadi kendala utama.
              Berbagai perubaan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas tampaknya tidak akan mampu menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja golongan pendidikan ini.Seharusnya, kurikulum SMTA Umum sekarang mendapat proporsi ketrampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, paling tidak sudah memilikibekal ketrampilan yang di butuhkan untuk masuk dunia kerja.Apa yang terjadi sekarang adalah mayoritas angkatan kerja berpendidikan SMTA Umum bekerja di sektor perdagangan dan sektor informal yang produktivitasnya relative rendah.
            Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata lowongan kerja yang belum terisi cenderung meningkat serta porsinya terhadap lowongan kerja  lelatif besar.Menurut data Sub Direktorat Informasi pasar kerja, Depnaker April 1998, dari 254.032 lowongan kerja terdaftar, terdapat 15 persen lowongan kerja yang tidak dapat terisi.Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan Diploma satu (D1) sekitar 10 persen.
          Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang belum terisi menunjukkan adanya kesenjangan antara kualitas penawaran tenaga kerja (dunia perguruan tinggi) dengan kualitas permintaan tenaga kerja (dunia usaha).Kesenjangan ini memang sudah sering di angkat ke permukaan sampai lahirnya konsep link and match.
       Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang lebih operasional.Secara fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) sudah menerapkan hal ini di mana banyak praktisi bisnis menjadi dosen – dosen PTS, yang secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum.Akan tetapi, bila tidak di imbangi dengan penjembatanan secara structural, misalnya dengan berbagai proyek kerjasama penelitian anatara dunia usaha dengan perguruan tinggi yang melibatkan dosen, mahasiswa, peneliti dan praktisi niscaya sulit untuk mempersempit gap tersebut.Permagangan mungkin salah satu alternative solusi praktis dan tepat.Hal ini di dasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa yng dating untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga menguatkan adanya kesenjangan tersebut.tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.

sumber :  https://ab3duh.wordpress.com/2013/01/12/artikel-tentang-pengangguran/

Fenomena Sosial Pengamen Jalanan

Pengamen perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan.
Indonesia merupakan negara berkembang 'identik dengan 'kemiskinan'. Jadi masih mengandung kemiskinan dimana-mana, baik di kota maupun di desa. Kita dapat melihat di setiap kota pasti ada daerah yang perumahannya berhimpitan satu dengan yang lain, banyaknya pengamen, pengemis, anak jalanan dan masih banyak lagi keadaan yang dapat menggambarkan 'masyarakat miskin perkotaan'. Bahkan di malam hari banyak orang-orang tertentu yang tidur di emperan toko pinggir jalan. Kondisi demikian sangat memprihatinkan dan harus segera di atasi. 


Faktor-faktor yang membuat seseorang mengamen diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
                    Anak pengamen harus mau melakukannya demi tuntutan ekonomi, dimana orang tua tidak mampu membiayai  kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolah. Untuk itu demi memenuhi kebutuhan tersebut maka seorang anak harus melakukannya.  Bahkan kadangkala orang tua menyuruh anaknya mengamen untuk menambahi kebutuhan hidup atau orang tua yang malas bekerja hanya mengandalkan hasil pengamen anaknya,
2. Kurang Kasih Sayang
                  Anak yang kurang kasih sayang atau tidak menerima kasih sayang  dari orang tua. Artinya hanya karena kesibukan orang tua sibuk untuk mencari harta atau kesenangan sehingga orang tua tidak memiliki  waktu untuk mencurahkan perhatian, bertanya tentang apa masalah anak, bertukar pikiran, dan berbagi rasa dengan anak. Dengan tidak menerima kasih sayang dari orang tua maka anak pun mencari kesenangan dengan  lain untuk  menghibur dirinya walaupun dengan cara bagaimanapun. Cara mengamen adalah salah satu penghiburan diri bagi anak karena dengan bernyanyi sebagai pengamen dapat menghibur hati, menungkapkan isi hati, dan menghabiskan waktu,
3. Rasa ikut-ikutan
               Anak dipengaruhi lingkungan atau teman sebaya untuk mencari hiburan, menghindari pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau merasa hebat akan dirinya. Padahal jika ditesuri, sebenarnya niat seorang anak, segi ekonomi, tidak membuat anak menjadi seorang pengamen, tetapi hanya karena ikut-ikutan atau dipengaruhi  maka seorang anak pun melakukannya. Dengan melihat situasi ini meskipun anak pengamen harus mengalami panas terik, hujan, caci maki, pukulan, tetap memiliki jumlah yang banyak. Hampir ditiap persimpangan jalan dapat ditemui di pasar, di rumah makan, terminal, dan sebagainya.Akan tetapi hal yang sering muncul adalah bersifat negatif dari berbagai kalangan seperti akan menganggu kemacetan lalu lintas, kurangnya nilai estetika tata ruang kota, dan menganggu kenyamanan yang berkendaraan. Yang sudah diteliti bahwa psikologis anak pengamen ini tidak memiliki rasa malu, tidak peduli atau acuh tak acuh, dengan tujuan agar keberadaan mereka diterima masyarakat sebagai bentuk budaya baru. Agar keberadaan mereka tetap eksis anak pengamen juga berupaya untuk melawan berbagai pihak baik pihak hukum dan non hukum hanya untuk mempertahankan harga diri dan rasa solidaritas diantara mereka.
                  Fenomena sosial kehidupan anak pengamen memiliki dua arti yaitu pengaruh yang hanya bekerja di jalanan dan menunjukkan gaya kehidupan di jalanan. Bekerja di jalanan  artinya mencari nafkah hanya mengandalkan pengamen untuk kebutuhan hidup sedangkan gaya hidup di jalanan hanya sekedar mewujudkan dapat hidup dijalanan  dan tidak hanya mengandalkan hasil pengamen. Dari segi usia sebenarnya anak pengamen tidak wajar melakukannya dengan alasan orang tua harus memiliki tanggung jawab dan memberi kasih saysng kepada anaknya. Meskipun orang tua tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebaiknya anak tidak dibolehkan mengamen lebih  baik menjual makanan atau kebutuhan kecil-kecil dengan cara berkeliling untuk menambah kebutuhan hidup walaupun keuntungan tidak besar.
                   Untuk itu sebagai orang tua harus mampu memberikan tanggung jawab dan kasih sayang kepada anak agar tidak terjadi anak pengamen di tengah kota. Disamping itu aparat hukum memiliki aturan yang tegas terhadap hukum, hukum harus ditegakkan  demi masa depan anak bangsa. Apabila hal-hal ini dilakukan maka sangat tipis kemungkinan munculnya anak pengamen di jalanan yang saat ini telah menjamur. Selain itu juga jika anak pengamen tidak muncul di tengah kota maka nilai estetika kota pun ada, hal-hal yang tidak diinginkan pun tidak terjadi. Sehingga untuk menuju Kota Medan Metropolitan pun terwujud walaupun masih membutuhkan perbaikan-perbaikan dibidang  yang lain.
sumber :  http://ajengnissaa.blogspot.co.id/2013/04/fenomena-sosial-pengamen-jalanan.html