Pengangguran terjadi di sebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja.Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan
hubungan kerja, yang disebabkan antara lain : perusahaan yang
menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan
yang kurang kondusif ; peraturan yang menghambat inventasi ; hambatan
dalam proses ekspor impor, dll.Menurut data BPS angka pengangguran pada
tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka , sekitar 450 ribu
diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi .Bila dilihat dari usia
penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah usia muda (15 – 24
tahun).Selain itu terdapat sebanyak 2.7 juta penganggur merasa tidak
mungkin mendapat pekerjaan (hopeless).Situasi seperti ini akan sangat
berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja
kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002
berjumlah 28.87 juta orang.Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja
pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah,
yang mengakibatkan produktivitas rendah.Dengan demikian masalah
pengagguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta yang harus
segera di tuntaskan.
- B. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah
satunya di pengaruhi oleh besarnya angkatan kerja.Angkatan kerja di
Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang.Mereka ini di
dominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15 – 24 tahun) sebanyak 20,7 juta.Pada
sisi lain 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti
bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja.Pada
tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta
orang.Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada di sektor
pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong
rendah.Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia
tersebut berstatus informal.
Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah.Ini
menunjukkan bahwa kesempatan kerja yng tersedia bagi golongan
berpendidikan rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa
kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah
dan memberikan imbalan yang kurang layak.Implikasinya adalah
produktivitas tenaga kerja rendah.
SASARAN
Sasaran yang di harapkan, di rumuskan sebagai berikut :
- Menurunnya jumlah penganggur tebuka dari 0,96 persen menjadi 5,5 persen pada tahun 2009.
- Menurunnya jumlah setengah penganggur dari 28,65 persen menjadi 20 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
- Meningkatnya jumlah tenaga kerja formal dari 36,71 persen menjadi 60 persen dari jumlah yang bekerja pada tahun 2009.
- Menurunnya jumlah angkatan kerja usia sekolah dari 20,54 persen menjadi 15 persen pada tahun 2009.
Tingkatan perluasan lapangan kerja dari 91,65 juta orang menjadi
108,97 juta orang.Terbangunnya jejaring antara pusat dengan seluruh
kabupaten/kota.Untuk mencapai
hal tersebut disusun strategi, kebijakan dan program – program yang
perlu terus dibahas untuk menjadi kesepakatan semua pihak meliputi
Pengendalian Jumlah Angkatan Kerja;Peningkatan Kualitas Angkatan
Kerja;PeningkatanEfektivitas Informasi Pasar Kerja dan Bursa
Kerja;Pembinaan Hubungan Industrial.
- C. Pengangguran tenaga Kerja Terdidik
Selain masalah upah, pesoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menyangkut tingkat pengangguran.Ini
disebabkan pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar di banding
pertumbuhan lapangan kerja produktif yang dapat di ciptakan setiap tahun.Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin membengkak tajam.Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen.Angka
ini sebenarnya masih di sekitar tingkat pengangguran natural (Natural
Rate Of Unemployment), suatu tingkat secara alamiah mustahil dihindarkan.Ini
mencakup pengangguran yng muncul karena peralihan antar kerja oleh
tenaga kerja.Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta orang pengangguran.
Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat
pengangguran di beberapa Negara industri maju di Eropa di tahun 90-an
yang bahkan mencapai dua digit.Namun
tingkat pengangguran 5,7 persen tersebut sebenarnya adalah angka
pengangguran terbuka (Open Unemployment), yakni penduduk angkatan kerja
yang benar-benar menganggur.Diluar pengertian tersebut, terdapat
sejumlah besar penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam
kualifikasi pengangguran terselubung (Disquised Unemployment), yakni
tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak memperoleh
pekerjaaan yang sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan
tenaga kerja.Konsep lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja
yang jumlah jam kerjanya tidak optimal karena ketiadaan kesempatan untuk
bekerja.
Bedasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997,sekitar 45
persen tenaga kerja bekerja di bawah 35 jam per minggu atau setara
dengan 25 persen pengangguran penuh.Jika
di tambah angka pengangguran terbuka 2,67 persen dan pengaruh krisis
ekonomi yang berkepanjangan,total pengangguran nyata bias mencapai 35-40
persen.Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan dalam pembangunan nasional.Di
samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan
adalah pengangguran tenaga terdidik yaitu, angkatan kerja berpendidikan
menengah ke atas dan tidak bekerja.Fenomena ini patut di antisipasi
sebab cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan
strategi serta kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.
Pola pengangguran
Dari tabel di bawah mengungkapkan beberapa hal menarik.Pertama, pada
tahun 1998 hampir separuh (49 persen) penganggur ternyata berpendidikan
menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan). Kedua, periode tahun 1982-1998,
terjadi peningkatan pengangguran berpendidikan menengah ke atas
(SMTA,Akademi, dan Sarjana) secara signifikan dari 26 persen menjadi 57
persen, atau meningkat hamper 12 persen.Ketiga, laju peningkatan
pengangguran di sekolah Menengah
Kejuruan lebih rendah daripada Sekolh
Menengah Umum, baik pada menrgah pertama maupun pada menengah
atas.Keempat, persentase peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan
sarjana adalah paling tinggi,yang menjolak dari 0,57 persen pada 1982
menjadi 5,02 persen pada tahun 1998.
Beberapa sebab :
- Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal. Pertama,pembangunan ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih mampu membiayai pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu kualitas tenaga kerja.Kedua, berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatanpada kualitas pendidikan formal angkatan kerja.Akan tetapi, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja masih di dominasi sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan.Ini enimbulkan gejala supply induce di mana tenagaa kerja terdidikyang jumlahnya cukup besar member tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relative kecil, sehingga terjadi pendayagunaaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal.
- Secara makro ini juga di sebabkan transformasi ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tersier (industry dan jasa) tidak di ikuti transformasi penyerapan tenaga kerja.Periode tahun 1980-1998, penyerapan tenaga kerja sektor primerbturun 9 persen menjadi 47 persen, sementara sektor sekunder dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen.Di lain pihak konstribusi sektor primer terhadap PDB turun sebesar 9 persen menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14 persen menjadi 27 persen.
Tampaknya gejala tersebut di akibatkan pola perkembangan industry
saat ini yang kurang berbasispada permasalahan nasional yang sifatnya
seolah labor surplus padahal karena permintaanyang kecil.Dengan
demikian, di samping membangun industry skala besar yang sifatnya padat
modal dan teknologi , perhatian juga sudah seharusnya di berikan pada
pengembangan industry yang lebih berorientasi pada penyerapan tenaga
kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tatapi juga tumbuh
dengan sangat cepat.
Perlu juga penanganan serius terhadap tigginya persentase lulusan
SMTA Umum yng menganggur (lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan).Hal ini
karena pada dasarnya SMTA Umum di persiapkan untuk memasuki perguruan
tinggi, padahal untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat
terbatas, mahalnya biaya juga mejadi kendala utama.
Berbagai perubaan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas
tampaknya tidak akan mampu menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja
golongan pendidikan ini.Seharusnya, kurikulum SMTA Umum sekarang
mendapat proporsi ketrampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA
tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, paling tidak sudah
memilikibekal ketrampilan yang di butuhkan untuk masuk dunia kerja.Apa
yang terjadi sekarang adalah mayoritas angkatan kerja berpendidikan
SMTA Umum bekerja di sektor perdagangan dan sektor informal yang
produktivitasnya relative rendah.
Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata
lowongan kerja yang belum terisi cenderung meningkat serta porsinya
terhadap lowongan kerja lelatif besar.Menurut data Sub Direktorat
Informasi pasar kerja, Depnaker April 1998, dari 254.032 lowongan kerja
terdaftar, terdapat 15 persen lowongan kerja yang tidak dapat
terisi.Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja
berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan
SD dan Diploma satu (D1) sekitar 10 persen.
Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang
belum terisi menunjukkan adanya kesenjangan antara kualitas penawaran
tenaga kerja (dunia perguruan tinggi) dengan kualitas permintaan tenaga
kerja (dunia usaha).Kesenjangan ini memang sudah sering di angkat ke
permukaan sampai lahirnya konsep link and match.
Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang
lebih operasional.Secara fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta
(PTS) sudah menerapkan hal ini di mana banyak praktisi bisnis menjadi
dosen – dosen PTS, yang secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum.Akan
tetapi, bila tidak di imbangi dengan penjembatanan secara structural,
misalnya dengan berbagai proyek kerjasama penelitian anatara dunia usaha
dengan perguruan tinggi yang melibatkan dosen, mahasiswa, peneliti dan
praktisi niscaya sulit untuk mempersempit gap tersebut.Permagangan
mungkin salah satu alternative solusi praktis dan tepat.Hal
ini di dasarkan bahwa dunia usaha terkesan tertutup terhadap mahasiswa
yng dating untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga
menguatkan adanya kesenjangan tersebut.tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.
sumber : https://ab3duh.wordpress.com/2013/01/12/artikel-tentang-pengangguran/
No comments:
Post a Comment