12/08/2015

Penganmen, pengemis, dan pengangguran

             Pengamen perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan. 

Faktor-faktor yang membuat seseorang mengamen diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
                    Anak pengamen harus mau melakukannya demi tuntutan ekonomi, dimana orang tua tidak mampu membiayai  kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolah. Untuk itu demi memenuhi kebutuhan tersebut maka seorang anak harus melakukannya.  Bahkan kadangkala orang tua menyuruh anaknya mengamen untuk menambahi kebutuhan hidup atau orang tua yang malas bekerja hanya mengandalkan hasil pengamen anaknya,
2. Kurang Kasih Sayang
                  Anak yang kurang kasih sayang atau tidak menerima kasih sayang  dari orang tua. Artinya hanya karena kesibukan orang tua sibuk untuk mencari harta atau kesenangan sehingga orang tua tidak memiliki  waktu untuk mencurahkan perhatian, bertanya tentang apa masalah anak, bertukar pikiran, dan berbagi rasa dengan anak. Dengan tidak menerima kasih sayang dari orang tua maka anak pun mencari kesenangan dengan  lain untuk  menghibur dirinya walaupun dengan cara bagaimanapun. Cara mengamen adalah salah satu penghiburan diri bagi anak karena dengan bernyanyi sebagai pengamen dapat menghibur hati, menungkapkan isi hati, dan menghabiskan waktu,
3. Rasa ikut-ikutan
               Anak dipengaruhi lingkungan atau teman sebaya untuk mencari hiburan, menghindari pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau merasa hebat akan dirinya. Padahal jika ditesuri, sebenarnya niat seorang anak, segi ekonomi, tidak membuat anak menjadi seorang pengamen, tetapi hanya karena ikut-ikutan atau dipengaruhi  maka seorang anak pun melakukannya. Dengan melihat situasi ini meskipun anak pengamen harus mengalami panas terik, hujan, caci maki, pukulan, tetap memiliki jumlah yang banyak

             Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Meskipun menjadi mengemis adalah halal, tidak semua orang boleh menjadi pengemis. Orang yang boleh menjadi pengemis adalah orang yang sangat miskin sehingga ia terpaksa mengemis untuk bertahan hidup.  
Ada dua kategori dari pengemis seperti :
1. Pengemis yang cacat (difabel), dan tidak berkemampuan produktif secara ekonomi, ketidakmampuan mungkin pantas bagi mereka untuk menjadi alasan sebagai latar belakang mereka untuk memilih jalan menjadi pengemis dan mencari tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka
2. Pengemis yang tidak cacat (non difabel), dan berkemampuan produktif        secara ekonomi, menjadikan mengemis sebagai sebuah profesi atau pekerjaan tetap, mungkin alasan yang tepat bagi mereka adalah kemalasan yang berkepanjangan.
Faktor-faktor seseorang memilih untuk menjadi pengemis :
Pertama, mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
Kedua, mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
Ketiga, mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
Keempat, mengemis karena miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
Kelima, mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis (“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Pengangguran terjadi di sebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja.Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya pasar kerja bagi para pencari kerja.
           Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang disebabkan antara lain : perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif ; peraturan yang menghambat inventasi ; hambatan dalam proses ekspor impor, dll.Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur  terbuka , sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi .Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar  (5.78 juta) adalah usia muda (15 – 24 tahun).Selain itu terdapat sebanyak 2.7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless).Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
           Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28.87 juta orang.Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas rendah.Dengan demikian masalah pengagguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta yang harus segera di tuntaskan.
           Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya di pengaruhi oleh besarnya angkatan kerja.Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang.Mereka ini di dominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15 – 24 tahun) sebanyak 20,7 juta.Pada sisi lain 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
           Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja.Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar  91,6 juta orang.Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada di sektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah.Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
           Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah.Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yng tersedia bagi golongan berpendidikan rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak.Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.
sumber : 
http://ajengnissaa.blogspot.co.id/2013/04/fenomena-sosial-pengamen-jalanan.html
http://rizkyameliah.blogspot.co.id/2012/11/artikel-pengemis-di-jadikan-mata.html 
https://ab3duh.wordpress.com/2013/01/12/artikel-tentang-pengangguran/  

No comments:

Post a Comment