Pengamen perkotaan adalah fenomena
yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya
permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan
industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu
yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya
urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang
identik dengan kemiskinan perkotaan.
Faktor-faktor yang membuat seseorang
mengamen diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi
Anak
pengamen harus mau melakukannya demi tuntutan ekonomi, dimana orang tua tidak
mampu membiayai kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolah. Untuk itu demi
memenuhi kebutuhan tersebut maka seorang anak harus melakukannya. Bahkan
kadangkala orang tua menyuruh anaknya mengamen untuk menambahi kebutuhan hidup
atau orang tua yang malas bekerja hanya mengandalkan hasil pengamen anaknya,
2. Kurang Kasih Sayang
Anak
yang kurang kasih sayang atau tidak menerima kasih sayang dari orang tua.
Artinya hanya karena kesibukan orang tua sibuk untuk mencari harta atau
kesenangan sehingga orang tua tidak memiliki waktu untuk mencurahkan
perhatian, bertanya tentang apa masalah anak, bertukar pikiran, dan berbagi
rasa dengan anak. Dengan tidak menerima kasih sayang dari orang tua maka anak
pun mencari kesenangan dengan lain untuk menghibur dirinya walaupun
dengan cara bagaimanapun. Cara mengamen adalah salah satu penghiburan diri bagi
anak karena dengan bernyanyi sebagai pengamen dapat menghibur hati, menungkapkan
isi hati, dan menghabiskan waktu,
3. Rasa ikut-ikutan
Anak
dipengaruhi lingkungan atau teman sebaya untuk mencari hiburan, menghindari
pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau merasa hebat akan dirinya. Padahal jika
ditesuri, sebenarnya niat seorang anak, segi ekonomi, tidak membuat anak
menjadi seorang pengamen, tetapi hanya karena ikut-ikutan atau
dipengaruhi maka seorang anak pun melakukannya. Dengan melihat situasi
ini meskipun anak pengamen harus mengalami panas terik, hujan, caci maki, pukulan,
tetap memiliki jumlah yang banyakPengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Meskipun menjadi mengemis adalah halal, tidak semua orang boleh menjadi pengemis. Orang yang boleh menjadi pengemis adalah orang yang sangat miskin sehingga ia terpaksa mengemis untuk bertahan hidup.
Ada dua kategori dari pengemis seperti :
1.
Pengemis yang cacat (difabel), dan tidak berkemampuan produktif secara ekonomi,
ketidakmampuan mungkin pantas bagi mereka untuk menjadi alasan sebagai latar
belakang mereka untuk memilih jalan menjadi pengemis dan mencari tahu siapa
yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka
2.
Pengemis yang tidak cacat (non difabel), dan berkemampuan produktif secara ekonomi, menjadikan mengemis
sebagai sebuah profesi atau pekerjaan tetap, mungkin alasan yang tepat bagi
mereka adalah kemalasan yang berkepanjangan.
Faktor-faktor seseorang memilih untuk
menjadi pengemis :
Pertama, mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam
segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap
atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara
sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
Kedua, mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan.
Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa
tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah
dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis
karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis
ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu
dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
Ketiga, mengemis
musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun
baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah
tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari
pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
Keempat, mengemis
karena miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi
fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya
berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang
kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti
ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk
menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
Kelima, mengemis yang
terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk.
Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis
(“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat.
Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi
“profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Pengangguran terjadi di sebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja.Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan
hubungan kerja, yang disebabkan antara lain : perusahaan yang
menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan
yang kurang kondusif ; peraturan yang menghambat inventasi ; hambatan
dalam proses ekspor impor, dll.Menurut data BPS angka pengangguran pada
tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka , sekitar 450 ribu
diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi .Bila dilihat dari usia
penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah usia muda (15 – 24
tahun).Selain itu terdapat sebanyak 2.7 juta penganggur merasa tidak
mungkin mendapat pekerjaan (hopeless).Situasi seperti ini akan sangat
berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja
kurang dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002
berjumlah 28.87 juta orang.Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja
pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah,
yang mengakibatkan produktivitas rendah.Dengan demikian masalah
pengagguran terbuka dan setengah penganggur berjumlah 38 juta yang harus
segera di tuntaskan.
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah
satunya di pengaruhi oleh besarnya angkatan kerja.Angkatan kerja di
Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang.Mereka ini di
dominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15 – 24 tahun) sebanyak 20,7 juta.Pada
sisi lain 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti
bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja.Pada
tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta
orang.Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada di sektor
pertanian, yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong
rendah.Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia
tersebut berstatus informal.
Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah.Ini
menunjukkan bahwa kesempatan kerja yng tersedia bagi golongan
berpendidikan rendah.Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa
kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah
dan memberikan imbalan yang kurang layak.Implikasinya adalah
produktivitas tenaga kerja rendah.
sumber :
http://ajengnissaa.blogspot.co.id/2013/04/fenomena-sosial-pengamen-jalanan.html
http://rizkyameliah.blogspot.co.id/2012/11/artikel-pengemis-di-jadikan-mata.html
https://ab3duh.wordpress.com/2013/01/12/artikel-tentang-pengangguran/
No comments:
Post a Comment